Dewa Agung
http://dbpedia.org/resource/Dewa_Agung an entity of type: Abstraction100002137
Dewa Agung or Deva Agung was the title of the kings of Klungkung, the foremost in rank among the nine kingdoms of Bali, Indonesia. It was also borne by other high-ranking members of the dynasty. The term Dewa means "god" and was also a general title for members of the Ksatria caste. Agung translates as "high" or "great". Literally, the title therefore means Great God. Ruling members of the Dewa Agung dynasty
rdf:langString
Dewa Agung atau Deva Agung adalah gelar raja-raja Klungkung, yang paling terkemuka di antara sembilan kerajaan Bali, Indonesia. Gelar ini juga diberikan kepada anggota dinasti berpangkat tinggi lainnya. Istilah Dewa berarti "dewa" dan juga merupakan sebutan umum untuk anggota kasta ksatria. Agung diterjemahkan sebagai "tinggi" atau "hebat". Secara harafiah, gelar itu berarti Tuhan yang Agung. Anggota penguasa dinasti Dewa Agung
rdf:langString
rdf:langString
Dewa Agung
rdf:langString
Dewa Agung
xsd:integer
20995506
xsd:integer
1042992679
rdf:langString
Dewa Agung or Deva Agung was the title of the kings of Klungkung, the foremost in rank among the nine kingdoms of Bali, Indonesia. It was also borne by other high-ranking members of the dynasty. The term Dewa means "god" and was also a general title for members of the Ksatria caste. Agung translates as "high" or "great". Literally, the title therefore means Great God. The rulers of Gelgel, who claimed authority over entire Bali and surrounding territories up to the late 17th century, were usually known by the royal title Dalem, literally "inside". After 1686, descendants of the old Gelgel line resided in the Klungkung Palace, a few kilometers north of Gelgel, and adopted the new title. Their direct authority encompassed a rather small territory around the palace, and the nearby island Nusa Penida. They were acknowledged by the other Balinese lords as having a ritual precedence position, although their ability to impose their will on the other eight kings were limited. An important cornerstone in the authority of the Dewa Agung line was their possession of pusaka objects (heirlooms) which entailed supposed magical capabilities. A contract with the Netherlands East Indies was signed in 1843, and supposedly placed Klungkung under Dutch suzerainty. Contracts with other Balinese states were signed at the same time. Controversies surrounding the interpretation of the contracts led to three Dutch expeditions to the island in 1846, 1848 and 1849. The 1849 expedition defeated the kingdoms of Buleleng and Karangasem and then invaded the territory of Klungkung. The Dutch army encountered difficulties when the commanding general A. V. Michiels was killed by Klungkung warriors. A peace treaty followed which left the south Balinese kingdoms autonomous under nominal Dutch suzerainty. After 1900 Dutch colonial policy became more active, and intended to suppress the virtually independent position that the princedoms in large parts of Indonesia had so far enjoyed. As a part of this the hawkish Governor General J. B. van Heutsz began to interfere in the affairs of Bali. The last Dewa Agung lost his life in the so-called puputan of Klungkung Palace on 28 April 1908 during the Dutch intervention in Bali (1908). This was a ritually laden suicidal attack by the dynasty and their retainers against a well-armed detachment of Dutch colonial troops. In the end almost two hundred Balinese were killed by Dutch bullets or by their own hand. After this event Klungkung was placed under direct Dutch rule. In 1929 a nephew of the last ruler, Dewa Agung Oka Geg, was appointed regent by the colonial authorities. In 1938 the status of him and seven other Balinese regents was elevated to zelfbestuurder or raja. After the formation of a unitary Indonesian state in 1949–1950, the raja rule was phased out in Bali and elsewhere. The Dewa Agung title lapsed with the death of Dewa Agung Oka Geg in 1964. Members of his family have since periodically governed Klungkung as bupati (regents). Ruling members of the Dewa Agung dynasty
* Dewa Agung Jambe I 1686-c. 1722 (scion of the Gelgel dynasty)
* Dewa Agung Gede or Surawirya c. 1722-1736 (son)
* Dewa Agung Made 1736-before 1769 (son)
* Dewa Agung Sakti late 18th century (son)
* Dewa Agung Putra I end of 18th century-1809 (son)
* Dewa Agung Putra II 1814-1850 (son)
* Dewa Agung Putra III 1851-1903 (cousin)
* Dewa Agung Jambe II 1903-1908 (son)
* Dewa Agung Oka Geg 1929-1950 (nephew)
rdf:langString
Dewa Agung atau Deva Agung adalah gelar raja-raja Klungkung, yang paling terkemuka di antara sembilan kerajaan Bali, Indonesia. Gelar ini juga diberikan kepada anggota dinasti berpangkat tinggi lainnya. Istilah Dewa berarti "dewa" dan juga merupakan sebutan umum untuk anggota kasta ksatria. Agung diterjemahkan sebagai "tinggi" atau "hebat". Secara harafiah, gelar itu berarti Tuhan yang Agung. Para penguasa Gelgel, yang mengklaim kekuasaan atas seluruh Bali dan wilayah sekitarnya hingga akhir abad ke-17, biasanya dikenal dengan gelar kerajaan , secara harfiah berarti "di dalam". Setelah tahun 1686, keturunan garis Gelgel lama tinggal di Istana Klungkung, beberapa kilometer di utara Gelgel, dan mengambil gelar baru. Otoritas langsung mereka meliputi wilayah yang agak kecil di sekitar istana, dan pulau terdekat Nusa Penida. Mereka diakui oleh penguasa Bali lainnya memiliki posisi ritual yang didahulukan, meskipun kemampuan mereka untuk memaksakan kehendak mereka pada delapan raja lainnya terbatas. Landasan penting dalam otoritas garis Dewa Agung adalah kepemilikan benda-benda pusaka yang diduga mengandung kemampuan magis. Sebuah kontrak dengan Hindia Timur Belanda ditandatangani pada tahun 1843, dan konon menempatkan Klungkung di bawah kekuasaan Belanda. Kontrak dengan negara bagian Bali lainnya ditandatangani pada saat yang bersamaan. Kontroversi seputar penafsiran kontrak menyebabkan tiga ekspedisi Belanda ke pulau itu pada tahun 1846, 1848 dan 1849. Ekspedisi 1849 mengalahkan Kerajaan Buleleng dan Karangasem dan kemudian menyerbu wilayah Klungkung. Tentara Belanda mengalami kesulitan ketika komandan jenderal Andreas Victor Michiels dibunuh oleh prajurit Klungkung. Sebuah perjanjian damai diikuti yang meninggalkan kerajaan Bali selatan otonom di bawah kekuasaan nominal Belanda. Setelah tahun 1900, kebijakan kolonial Belanda menjadi lebih aktif, dan bermaksud untuk menekan posisi independen yang selama ini dinikmati oleh kerajaan-kerajaan di sebagian besar Indonesia. Sebagai bagian dari ini, Gubernur Jenderal J. B. van Heutsz mulai ikut campur dalam urusan Bali. Dewa Agung terakhir kehilangan nyawanya dalam apa yang disebut puputan di Istana Klungkung pada tanggal 28 April 1908 selama intervensi Belanda di Bali (1908). Ini adalah serangan bunuh diri yang sarat ritual oleh dinasti dan pengikut mereka terhadap detasemen pasukan kolonial Belanda yang bersenjata lengkahlm.Pada akhirnya hampir dua ratus orang Bali terbunuh oleh peluru Belanda atau dengan tangan mereka sendiri. Setelah peristiwa itu, Klungkung ditempatkan di bawah kekuasaan langsung Belanda. Pada tahun 1929, keponakan penguasa terakhir, Dewa Agung Oka Geg, diangkat menjadi bupati oleh penguasa kolonial. Pada tahun 1938, statusnya dan tujuh bupati Bali lainnya diangkat menjadi zelfbestuurder atau raja. Setelah pembentukan negara kesatuan Indonesia pada tahun 1949-1950, kekuasaan raja dihapuskan di Bali dan di tempat lain. Gelar Dewa Agung hilang dengan kematian Dewa Agung Oka Geg pada tahun 1964. Anggota keluarganya sejak itu secara berkala memerintah Klungkung sebagai bupati. Anggota penguasa dinasti Dewa Agung
* Dewa Agung Jambe I 1686-c. 1722 (keturunan dari dinasti Gelgel)
* Dewa Agung Gede atau Surawirya c. 1722-1736 (putra)
* Dewa Agung Dimade 1736-sebelum 1769 (putra)
* Dewa Agung Sakti akhir abad ke-18 (putra)
* Dewa Agung Putra I akhir abad 18-1809 (putra)
* Dewa Agung Putra II 1814-1850 (putra)
* Dewa Agung Putra III 1851-1903 (sepupu)
* Dewa Agung Jambe II 1903-1908 (putra)
* Dewa Agung Oka Geg 1929-1950 (keponakan)
xsd:nonNegativeInteger
5264